Monday 21 November 2011

cerita orang dewasa-memori villa hijau


Hari itu aku menjadi saksi pembelian sebuah villa dari broker
properti pada pamanku. Sebenarnya pembelian ini agak unik
menurutku. Hal ini karena pamanku membeli villa ini tanpa
melihat langsung dahulu villa yang akan dibelinya itu. Pamanku
membeli hanya berdasar brosur dan keterangan broker yang tak
lain masih temannya. Di samping untuk membantu temannya itu
pamanku juga tertarik pada harganya yang tergolong murah.
Memang menurut brosur itu villa yang tergolong besar ini
ditawarkan murah. Alasan sibroker karena pemilik lama kepepet
sekali butuh uang untuk operasi jantung. Namun walau besar
lokasinya memang masih di desa yang jauh dari jalan besar
utama. Menurut si broker lagi untuk mencapai lokasi villa
harus melewati jalan desa yang penuh liku-liku. Dan juga
semenjak pemilik lama sakit dua bulan lalu villa itu tak
pernah lagi dikunjungi. Si broker sendiri belum pernah ke sana
hanya langsung diberi foto-foto dan keterangan villa oleh
pemilik lama untuk dijualkan. Walau berharga murah tak ada
yang tertarik kecuali pamanku ini.

Selesai urusan pembelian pamanku menyuruhku agar secepatnya
untuk melihat sekaligus membenahi villa. Pamanku sendiri tak
ada waktu mengingat kesibukannya. Aku mengusulkan agar besok
saja ke sananya. Malam sebelum berangkat aku menelepon temanku
untuk diijinkan tidak kuliah selama aku pergi. Lalu aku
menyiapkan perbekalan untuk dibawa antara lain alat
kebersihan, lampu darurat, dan makanan instan. Sebagai lelaki
muda aku memang senang bertualang bahkan terkadang hanya
seorang diri saja. Jadi hal seperti ini sudah aku anggap
biasa. Setelah semuanya aku masukkan ke dalam mobil espas
minibus pamanku aku langsung pergi tidur agar esok bugar.
Seperti biasa dan sudah menjadi kebiasaan aku kalau tidur
telanjang bulat. Begitu membayangkan tubuh wanita telanjang
aku langsung tertidur. Jujur saja melihat wanita bugil
langsung dihadapanku aku belum pernah apalagi bersenggama
dengan mereka. Jadi aku masih perjaka.

Esoknya aku bangun pukul 08.00. Rumah sudah sepi karena
pamanku telah berangkat kerja pada pukul 06.00. Istri pamanku
sudah dua bulan ini bertugas di luar negeri. Sementara Bik
Lastri pembantu di rumah tengah ke pasar mungkin. Biasanya
jam-jam segini memang jadwalnya dia ke pasar. Aku lalu mandi.
Selesai mandi aku sarapan nasi goreng yang telah disiapkan.
Kulihat di atas meja kerja paman ada amplop dan pesan untukku.
Rupanya itu berisi surat pengantar dan uang saku dari pamanku.
Waktu telah menunjukkan pukul 09.00 dan kuputuskan untuk
berangkat agar tak kemalaman saat tiba di villa. Kebetulan aku
punya kunci rumah sendiri jadi tak perlu menunggu Bik Lastri
pulang. Mobil lalu kustater berangkatlah aku. Sekitar dua jam
perjalanan aku berhenti mengisi bensin dahulu. Tiba-tiba aku
teringat tas berisi pakaianku ketinggalan. Ya sudah nasib
barangkali aku jadi tak membawa pakaian pengganti.

Tiga jam kemudian aku telah sampai di gerbang desa tempat
lokasi villa. Jalan menuju ke sana memang menyulitkan dan aku
harus bertanya berulang kali. Desa ini memang agak terpencil
tapi pemdanangannya indah. Hawa di sini terasa sejuk dan
nyaman. Di depan gerbang desa terpasang spdanuk yang
menerangkan sebuah universitas dari Jakarta tengah KKN. Mobil
lalu kujalankan terus hingga sekitar satu kilometer jalan
bercabang dua. Menurut brosur lokasi villa setelah melewati
balai desa. Jadi harus mencari jalan menuju balai desa. Tapi
di percabangan itu tak ada petunjuk sama sekali. Hendak
bertanya tak ada orang lewat. Sambil menunggu orang lewat
mobil kutepikan dan aku beristirahat. Sudah satu setengah jam
aku menunggu akhirnya dari spion mobil kulihat tiga orang
perempuan dua diantaranya mengenakan jas almamaternya menuju
ke arahku berjalan kaki. Mereka tampaknya peserta KKN. Aku
lalu keluar mobil menunggu mereka tiba. Semenit kemudian
mereka tiba. Wajah ketiganya bagiku cantik semua apalagi
dibdaningkan cewek yang kukenal mereka lebih menarik. Kulit
mereka kuning langsat kecuali yang tak mengenakan jas agak
coklat. Tubuh merekapun proporsional dengan tinggi sekitar 160
cm berat seimbang.

"Selamat sore, Mas mau kemana? Kok berhenti sendirian di sini.
Tampaknya dari luar kota, ya?" Sapa si cewek tak berjas
membuyarkan lamunanku tentang mereka.
"Kayaknya baru lihat nih. Pasti bingung memilih jalan ini
'kan?" Si cewek berjas almamater berambut lurus sebahu
menimpali. Sementara cewek berjas satunya yang mengenakan rok
agak mini longgar hanya tersenyum.
"Benar saya dari luar kota. Sebelumnya saya perkenalkan namaku
Rama masih kuliah sih. Kalau jalan ke balai desa yang mana
ya?" Tanyaku sok akrab.
"Oh maaf kami lupa kenalan dulu. Kalau nama saya Mirna, sedang
yang ini Mbak Ratih. Nah yang pakai rok namanya Mbak Tantri.
Jalan ke balai desa yang kanan. Yang kiri menuju ke lapangan
desa di sana sedang ada hiburan hingga malam. Penduduk desa
hampir semuanya sudah di sana. Mas mau ke rumah siapa?" Cewek
bernama Mirna menerangkan.

Tiba-tiba gerimis turun. Kupersilahkan ketiganya naik ke mobil
walau agak berdesakan dengan perbekalanku. Setelah kujelaskan
maksud kedatanganku mereka terutama Mirna agak terkejut. Tapi
saat kudesak mengapa terkejut Mirna malah tersenyum manis.
Kebetulan Mirna yang putri pak Kadus tempat Ratih dan Tantri
ditugaskan hendak pulang ke rumahnya. Katanya jalannya searah
tapi lebih jauh dari villa sekitar satujam berjalan kaki.
Mereka bertiga baru saja jalan-jalan dari kota kecamatan.
Delapan menit kemudian kami tiba di villa. Jarak dari rumah
terdekat cukup jauh jadi villa ini tampak berdiri sendirian.
Saat mobil hendak kulajukan lagi menuju rumah Mirna, Tantri
mengusulkan hendak membantu bersih-bersih. Akhirnya mobil
kumasukkan ke halaman villa yang luas tanpa pagar. Kuparkir di
bawah pohon mangga besar. Gerimis agak mereda.

Villa dengan luas bangunan 200 m2 dan luas tanah 500 m2 yang
tidak bertingkat ini dicat hijau muda. Sampah dedaunan
berserakan sementara debu dan sarang laba-laba tampak
dimana-mana. Lalu pintu depan aku buka tampak ruangan terdiri
tiga kamar tidur ini sangat kotor. Setelah perbekalan
diturunkan langsung saja kami berempat membersihkan villa ini.
Untunglah pukul enam sore semuanya selesai. Lampu-lampu
ruangan ternyata masih berfungsi. Bahkan pompa air penyedot
air sumur masih bisa berfungsi baik.

Saat hendak mengantar mereka pulang pada pukul setengah tujuh
malam hujan turun lagi dengan derasnya. Padahal jarak dari
teras ke mobil sekitar sepuluh meter dan tidak ada payung.
Akhirnya diputuskan menunggu hujan reda. Kami kecuali Tantri
lalu mengobrol akrab, Dari obrolan aku tahu Ratih baru sebulan
menikah, Mirna walau telah berusia 32 tahun belum menikah
alasannya sebagai bungsu ia ingin membantu bapaknya yang
menduda dan sudah tua. Tapi kuakui tubuhnya cukup terawat
walau hidup di desa. Sedangkan Tantri hanya diam. Dari tadi ia
sibuk memasang korden di jendela depan.

Tiba-tiba pintu depan yang tak kukunci terbuka disertai
hembusan angin beserta air hujan. Tantri yang berdiri dekat
pintu roknya terangkat ke atas tampak celana dalam merahnya
terlihat olehku membuat nafsuku menaik. Paha dan betisnya
begitu mulus menggoda. Air hujan yang datang beserta angin
membuat ia basah kuyup. Dengan agak malu ia langsung berlari
ke kamar mandi. Dari dalam kamar mandi Tantri minta dipinjami
pakaian.

Celakanya aku tak membawanya sampai hdanukpun tertinggal. Aku
hanya berkaos oblong celana jeans dan cd saja beginipun masih
kedinginan. Mirna berterus terang sudah terbiasa tak
mengenakan jeroan alias cd dan bh. Jadi bila kemeja dan
celanapanjangnya dipinjamkan berarti harus telanjang.
Membayangkan itu membuat nafsuku tambah naik lagi. Ratih
terlihat menuju ke depan pintu kamar mandi. Ia lalu melepaskan
jaket almamater lalu mencopot celana jeansnya. Lalu
diserahkanlah pada Tantri.

Kini ia hanya berkaos oblong tanpa bh menutup badan sedangkan
bawahannya celana pendek panty ketat. Walau tidak telanjang
baru kali ini kulihat langsung samar-samar payudara cukup
besar dengan puting mencap di kaos Ratih. Aku tak tahu berapa
ukurannya karena belum berpengalaman. Terlihat pula kakinya
begitu mulus melangkah ke arahku dan Mirna. Bagiku melihat hal
seperti ini sudah membuat kontolku mulai bangun. Apalagi
hampir seminggu tak kuledakkan lewat onani. Ditambah suasana
seperti ini membuat pikiranku semakin kacau saja. Saat Ratih
duduk di sebelahku, Mirna berdiri katanya hendak membuatkan mi
instan dan kopi panas. Ia menghampiri Tantri yang baru keluar
dari kamar mandi memintanya agar membantu.

Kulihat di HP waktu telah menunjukkan pukul setengah sembilan
malam. Sekuat hati kukerahkan agar kontolku kembali tidur. Tak
enak didekat Ratih bila celanaku terlihat ada yang menonjol.
Entar dikira tidak sopan atau bahkan ia malah marah.

"Masih pengantin baru kok malah berpisah?" Tanyaku mengawali
obrolan.
"Memang kami pengantin baru tapi soal itu tuh sudah sering aku
dan suamiku melakukannya sebelum menikah. Sebenarnya kami
inginya fun aja namun saat sedang enak-enakan begituan eeh
mamiku melihat. Jadi langsung deh kami dinikahkan."

Tantri dengan manja menceritakan pengalamannya. Karena agak
kedinginan ia menaikkan dan menekuk kakinya ditempelkan ke
dada. Payudaranya tampak tertekan membuat aku salah tingkah.
Kulihat ia tak memakai cd karena tak ada lekukan segitiga di
pantynya. Kontolku mulai bangun lagi. Untuk menutupi tonjolan
maka kedua telapak tangan kutaruh di atasnya.

"Ngomong-omong kamu pasti pernah ya? Masak lelaki segagah kamu
kok perjaka. Seminggu di sini sebenarnya aku ingin itu. Tapi
kegiatan padat dan hanya hari ini serta esok libur. Lagian
nglakuin di sini sama siapa? Apa sama bapaknya Mirna. Bisa ko
nanti. Hahahaha."

Ratih bicaranya semakin panas saja. Lalu dengan sengaja tangan
kirinya disusupkan hingga mengenai tepat di atas tonjolan
kontolku. Enak rasanya.

"Punyamu besar juga ya. Berapa cewek sudah dimangsa elangmu
ini?" Celoteh Ratih sambil mengusap-usap tonjolan kontolku.
"Jujur saja aku belum pernah kok. Aduh enak.." Saat tangan
kananku hendak kumasukkan ke dalam panty Ratih, Mirna dan
Tantri datang membawa mirebus dan kopi. Akhirnya kutahan
hasratku untuk mengisi perut dahulu.

Karena capai kami berempat memutuskan untuk tidur di villa
ini. Namun sebelumnya Ratih menelepon ketua kelompoknya
mengabari tak bisa pulang. Ternyata semua penghuni dusunnya
masih menonton hiburan dan tak bisa pulang karena hujan.
Ratih, Mirna, dan Tantri tidur di kamar tengah sementara aku
di ruang tengah sambil berjaga-jaga. Baru dua jam tertidur aku
terbangun. Aku kebelet kencing. Agak ngantuk aku menuju
kamarmandi. Saat pintu kubuka sedikit tercium aroma tinja
menusuk hidung. Aku terkejut melihat pemdanangan indah campur
menjijikkan di hadapanku.

Mbak Mirna tengah jongkok di atas closet jongkok tanpa
tertutup selembar benangpun bagian perut ke bawah. Dengan
wajah memerah Mbak Mirna justru terdiam kaku. Kulihat sambil
menghirup aroma semerbak tampak jembut ikal hitam sangat lebat
dibiarkan tumbuh subur mengelilingi liang senggamanya yang
berwarna kemerahan. Terlihat pula ia berusaha keras mengejan
agar tinja kuning keras yang masih menggantung keluar dari
anusnya. Karena terus mengejan maka currr air pipisnya keluar
memancar deras mengenai celanaku.

Liang tempiknya terus terbuka. Akhirnya tinja keras itu keluar
juga seluruhnya. Mbak Mirna lalu berdiri menyiram closet lalu
cebok. Aku yang dari tadi kebelet lalu berjalan kepojok lain
kamar mandi lalu kencingku ku keluarkan. Kondisi kontolku
sudah sangat tegak dan keras. Selesai itu aku hendak keluar
namun Mbak Mirna mencegah. Kukira ia akan menamparku sehingga
aku terus meminta maaf.

"Sudahlah dik Rama, lupakan itu. Tapi kemarikan burungnya
langsung aja masukkan ke tempik Mbak."

Mbak Mirna berusaha menenangkan aku. Mendengar ajakan gila itu
aku justru kebingungan habis belum pernah sih. Kulihat Mbak
Mirna membelakangiku kemudian membungkuk sambil pantatnya agak
ditunggingkan. Badannya tetap mengenakan kemeja. Dua lubangnya
nyaris tak terlihat tertutup rambut ikal lebat. Bau tempik
campur tinja semakin menusuk hidungku. Tangan kanannya
dijulurkan ke belakang hingga menggenggam erat kontolku.

"Alamak begini to rasanya. Ehh.. Mbak jembutnya lebat banget
aku cabuti lho!"

Aku mulai menikmati kocokan lembut tangan Mbak Mirna. Iseng
kucabut sehelai jembut saat ia terus menungging. Kuluruskan
ternyata sekitar tujuh senti lebih. Lalu kucabut lagi sehelai
demi sehelai. Aku dari dulu bila melihat gambar wanita bugil
berjembut lebat sangat terangsang dan gemas. Terutama
gambar-gambar wanita Jepang yang terkenal sangat subur.
Apalagi melihat langsung seperti ini.

"Uhh dik Rama nakal. Tempik Mbak sakit kalau dicabuti terus
bulunya. Namanya orang gunung ya pasti lebat donk. Sudah
masukin aja kontolmu. Pelan dulu." Mbak Mirna mulai tidak
tahan. Saat kuraba tempiknya agak basah dan klistorisnya
membesar.

Pelan-pelan kumasukkan kontolku dalam liang senggama Mirna.
Pengalaman pertamaku merasakan senggama. Setelah masuk
seluruhnya rasanya kontolku seperti ada yang menjepit. Lalu
kumaju mundurkan pelan-pelan dan Mbak Mirna terus mendesah.
Baru sekitar tigapuluh kali gerakan maju mundur pelan kontolku
belum sempat kucabut sudah memuntahkan sperma dalam liang
senggama Mbak Mirna. Mbak Mirna tenang-tenang saja. Rupanya
walau belum menikah ia sudah sering bersenggama terutama waktu
masih bekerja di Jakarta. Tetapi sudah hampir setahun ia hanya
bermasturbasi. Paling sering menggunakan botol kecap ukuran
kecil.

"Aduh maaf Mbak maniku kusemprot di dalam." Sesalku sambil
memakai kembali celanaku.
"Tidak apa-apa Mbak sudah pengalaman. Kalau cuma segini tak
berpengaruh." Mbak mirna juga memakai kembali celananya.
Terlihat beberapa helai jembutnya rontok. Ia lalu pamit hendak
tidur lagi.

Waktu menunjukkan tepat tengah malam. Dalam hati aku terasa
mimpi telah bersenggama langsung dengan wanita. Akibat
kelelahan aku tertidur lagi. Tiga jam kemudian terdengar HPku
berbunyi. Aku terjaga.

Read More “cerita orand dewasa-Memori Villa Hijau”  »» 

No comments:

Post a Comment